Welcome to my blog :)

rss

Jumat, 05 Februari 2010

tabuik

Exotic Nature and Culture of Indonesia

Tabuik Sumatera Barat

Tabuik
Foto dan teks oleh Barry Kusuma

Peristiwa pembantaian Hussain, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala, oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari dinasti Ummayah, menorehkan guratan sejarah yang mendalam bagi umat muslim di dunia. Di Pariaman, Sumatera Barat, peristiwa ini diperingati dengan melaksanakan sebuah upacara, Tabuik.

Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.


Simbol Rasa Duka

Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.

Dua minggu menjelang pelaksan

aan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.

Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat

Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.

Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, keramaian sudah terasa di seantero Kota Pariaman. Seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota. Para warga lainnya berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan jalannya kirab Tabuik. Tak hanya warga biasa, para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.

Tepat pada waktunya, Tabuik mulai diangkat dan karnaval pun dimulai. Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat mu

sik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Selama arak-arakan berlangsung, seluruh peserta karnaval meneriakkan, “Hayya Hussain… Hayya Hussain!!!” sebagai ungkapan hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW tersebut. Sesekali, arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.

Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.

video

Bila dibandingkan dengan upacara Tabuik yang digelar sepuluh tahun lalu, upacara Tabuik yang ada sekarang memang berbeda. Kala itu, Tabuik dibuat oleh dua kelompok warga dari kubu yang berbeda dan kemudian diadu satu sama lain. Dalam prosesnya, tak jarang diikuti pula dengan baku hantam para warga dari kedua kubu tersebut.

Atraksi Budaya Unik

Kini, unsur kekerasan yang tadinya terdapat pada Tabuik itu telah dihilangkan. Upacara ini lebih diarahkan kepada sebuah atraksi budaya yang menarik dan dapat dikonsumsi oleh para wisatawan. Selain menyaksikan prosesi upacara Tabuik, para wisatawan dapat berkeliling di pasar tradisional dan bazaar yang digelar seiring dengan perayaan ini. Nikmati juga salaluk dan rakik maco, makanan khas Pariaman yang banyak dijajakan di pinggir pantai. Sayangnya, sampai kini, pelaksanaan upacara Tabuik belum digarap secara maksimal. Masih ada sejumlah kendala yang muncul dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal pendanaan.

Perayaan Tabuik tahun ini yang jatuh pada bulan Februari lalu misalnya. Acara ini nyaris gagal dilaksanakan. Pemda setempat bahkan sempat mengumumkan lewat media massa rencana pembatalan tersebut. Namun, berkat kesungguhan warga Pariaman untuk menggelar acara ini, Tabuik pun akhirnya dapat digelar dan dapat dinikmati oleh seluruh pengunjung.

Transformasi Nilai-nilai Budaya Minangkabau

Oleh : Novi Yulia / Padang Ekspres

Setuju atau tidak, proses transformasi nilai dan budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dalam pengembangan dan pemeliharaan kebudayaan. Melalui pendidikan dilakukan suatu aktifitas pentransformasian atau penurunan kebudayaan. Dengan sendirinya akan meretas segala bentuk ketidaktahuan terhadap nilai-nilai budaya. Masyarakat yang terdidik akan melahirkan masyarakat yang berbudi.

Bebicara tentang budaya, di Minangkabau tidak akan bisa lepas dari membicarakan adat, syarak dan seni. Pada kata adat mengandung kearifan, terkait habbluminannas. Karena adat merupakan strata yang menata hidup dan kehidupan suatu masyarakat dalam bingkai humanisasi atau kemanusiaan. Dengan adat masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang memiliki landasan dan pijakan dalam mengeksisitensikan diri di tengah kehidupan bersosial.

Strata-strata adat manata dan memanajemen baik secara pribadi maupun secara kolektif di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga adanya suatu rasa untuk menghargai keberadaan orang lain. Pengaplikasian ini salah satunya dengan menjalankan suatu aturan dalam berkomunukasi dan berinteraksi yang sopan. Dengan menggunakan kata yang empat:

Satu, kata mendatar yaitu bahasa yang dipilih dan digunakan untuk berkomunikasi dengan seusia. Dua, kata mendaki, merupakan pilihan kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih tinggi atau orang dihargai seperti kepada seorang guru. Tiga, kata menurun, penggunaan bahasa yang sopan dan penuh kasih sayang kepada seseorang yang usianya lebih kecil. Empat, kata melereng, digunakan dalam berkomunikasi antara orang yang saling menghargai. Seperti pilihan kata yang digunakan seorang mertua kepada menantunya.

Jika transformasi nilai-nilai ini berlaku dengan baik dalam masyarakat Minangkabau, diharap mampu teraplikasi dengan ideal. Tentunya tidak akan ada kesenjangan dan ketidakarifan dalam kehidupan masyarakat. Maka transformasi adat yang dilakukan oleh golongan tua (baca: guru) kepada generasi muda bisa dikatakan berhasil.

Sementara itu syarak menekankan kepada pengimplementasian hubungan yang bersifat vertikal habblumminallah. Syarak menata menusia dalam menjalankan agama. Sebagai bentuk suatu proses menuju jalan kebenaran yaitu jalan Allah. Kebenaran-kebenaran syarak ditarik dari kitabullah dan sunatullah. Pada proses pengaktualisasian nilai-nilai dari syarak pada dasarnya tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan suatu perubahan. Karena kebenaran dari syarak itu bersifat mutlak karena diturunkan lansung oleh Allah SWT.

Namun yang akan menjadi perhatian bagi masyarakat Minangkabau yaitu yang terkait dengan suatu aktifitas syarak yang sifatnya berjamaah. Seperi shalat berjamaah, penyelanggaraan jenazah dll. Tetapi syarak yang terkait dengan ritual keagaan yang bersifat pribadi, itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pribadi pula terhadap Ilahirobbi.

Di dalam melakukan proses transpormasi adat dan syarak di Minangkabau lebih banyak dilakukan di surau. Surau sebagai salah satu tempat yang menjadi pusat pendidikan di Minangkabau, memiliki suatu sistem yang tidak kaku. Sehingga di surau tidak hanya mempelajari agama (syarak) dan adat. Lebih dari itu, surau juga merupakan salah satu sarana tempat berkesenian. Para guru di surau tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun ia adalah seorang pendidik.

Generasi muda di bentuk menjadi generasi islami yang sopan dan tangguh. Keislamian seorang murid diperoleh melalui proses dari pemerolehan pengetahuan tentang agama yang kemudian mampu di jiwanya dan diimplementasikan dalam keseharian.

Terkait dengan kata dan makna “tangguh” di atas, lahir dari pemikiran bahwa sebagai generasi Minangkabau terutama laki-laki dituntut mampu menguasai seni tradisi silat. Pemilihan kata tangguh bukan hanya karena silat merupakan suatu seni bela diri yang bersifat pertarungan fisik. Namun pada silat menyimpan suatu kearifan roh kelektif. Karena silat tidak hanya terkait tentang pergulatan realitas fisikli. Sebagai roh kolektif, silat merupakan seni bela diri yang mengutamakan pertahanan, perlindungan diri. Ia sebagai sarana dalam berhubungan dengan orang lain. Silat sangat menjunjung tinggi falsafah sosiokultural dan kolektif dalam bersopan santun.

Generasi muda (baca: murid) tidak hanya dilatih untuk mampu bersilat secara fisikli. Namun ia juga dibekali dengan dua silat lainnya yaitu bersilat lidah dan bersilat batin. Pada dasarnya katiga silat ini merupakan satu kesatuan yang utuh, ia merupakan lingkaran setan yang seharusnya tidak terputus. Dengan penguasaan dari ketiga silat inilah yang akan melahirkan adanya silaturrahmi dan saling menghargai di tengah masyarakat.

Dengan berfungsinya surau sebagai salah satu sarana transpormasi syarak dan seni di Minangkabau tradisional telah melahirkan generasi islami, berbudi dan tangguh. Hal ini tentunya merupakan suatu bentuk dari keberhasilan proses transpormasi pendidikan di Minangkabau tradisional. Keberhasilan yang ideal itu ternyata telah tertinggalkan jauh. Adanya perubahan-perubahan yang bersifat adopsi dan adaptif telah memudarkan pemahaman masyarakat terhadap adat, syarak dan seninya sendiri. Kondisi ini telah menggiring masyarakat untuk menghindar dari jati dirinya sendiri.

Memahami kondisi seperti ini, arifnya tentu tidak menyalahkan apa siapa. Karena di tengah masyarakat kita telah mengenal dengan adigium: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah, nan aia ka hilia juo. Sakali balega gadang, sakali aturan batuka, nan adaik baitu juo.” Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh menutup mata atas akan terjadinya perubahan-perubahan dalam menjalankan kehidupan.

Karena banyaknya pengaruh-pengaruh dari luar. Namun betapapun besarnya pengaruh itu dan betapapun besarnya akibat yang ditimbulkan pengaruh itu. Seperti adanya perubahan dalam menjalankan suatu sistem. Namun jati diri Minangkabau tidak akan pernah pudar apalagi hilang.

Kondisi inilah sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau saat ini. Di mana adanya pergeseran-pergeseran pemahaman dari nilai-nilai kebudayaan yang berdampak kepada pergeseran aktualisasi kebudayaan. Tetapi adat Miangkabau yang ideal tidak akan pernah berubah “nan adaik Baitu juo”. Jadi, bagaimanapun kondisi keberbudayaannya masyarakat Minangkabau saat ini itu merupakan kesenjangan masyarakat dalam mengaplikasikan hidup berbudaya. Bukan karena adanya perubahan di dalam adat. Tetapi perubahan dalam menjalankannya.

Sebagai manusia yang berfikir, masyarakat Minangkabau tentu tidak akan bisa menghindar dari segala bentuk perubahan, karena manusia dan kebudayaan itu bersifat dinamis. Ketidak mampuan manyaring budaya (filterisasi kultural) yang ditawarkan oleh budaya luar lah yang menimbulkan degradasi dan kepudaran implementasi adat, syarak dan seni di Minangkabau.

Satu wacana yang sangat positif tentunya atas kegencaran masyarakat Minangkabau dalam mempertanyakan, mendiskusikan dalam seminar-seminar, mengkritik, bahkan mencaci (barangkali) dari keeksistensian budaya Minangkabau saat ini. Semua bentuk ekspresi dari gejolak-gejolak ini merupakan suatu bentuk adanya perhatian dan kepedulian atas kehidupan budaya Minangkabau tersebut dari masyarakatnya saat ini. Semakin banyak masyarakat yang memperhatikan keeksistensian budaya ini berati semakin adanya kegamangan masyarakat atas ketertimbunan budaya Minangkabau (syarak, adar, seni) atas moral modernisme yang negatif.

Dengan meminjam bahasanya Musa Ismail saya mencoba mengangkat batang tarandam dengan “memartabatkan” budaya Minangkabau. Kata dan makna “memertabatkan” bukan berarti selama ini budaya Minangkabau itu tidak bermartabat. Yang namanya konsep budaya Miangkabau akan tetap seperti apa adanya. Namun yang menjadi pemikiran di sini adalah sebagian besar masyarakat Minangkabau saat ini tidak lagi mengeksistensikan diri sepenuhnya dalam kancah budaya. Sehingga melahirkan suatu budaya baru yang merupakan hasil dari kolaborasi budaya yang tendensius dengan budaya modern.

Pada dasarnya kolaborasi ini kemudian melahirkan budaya kontemporer akan menjadi perfek bila masyarakat Minangkabau mampu memilih nilai-nilai yang positif tanpa menyingkirkan ” memarjinalkan” budaya sendiri. Dahan boleh berganti, asal akar tetap menghujam bumi. Maka itulah yang di sebut dengan jati diri.(Novi Yulia)

Minang



.













[navigasi.net] Budaya - Minangkabau


Dataran tinggi Minangkabau terletak dibagian tengah Bukit Barisan, pegunungan yang membujur hampir sepanjang pulau Sumatra itu sendiri, tepatnya di-Sumatra Barat, mungkin merupakan daerah yang paling subur di-Indonesia. Sepanjang mata memandang, yang nampak hanya lembah yang hijau, riam, air terjun dan danau-danau.

Masyrakat Minangkabau adalah suatu masyarakat yang menganut sistim Matriarileneal dimana garis Ibu lebih dominan dan hukum kewarisan mengikuti garis Ibu, yang mungkin satu-satunya di-Indonesia. Konon, masyarakat Negeri Sembilan dibagian barat semenanjung Malaysia yang diyakini berasal dari Ranah Minang, juga memiliki masyarakat yang Matrilineal, seperti ditanah leluhur mereka.








[navigasi.net] Budaya - Minangkabau


Masyarakat Minangkabau juga dikenal sebagai suatu masyarakat yang sangat religious. Ada pepatah yang mengatakan, dimanapun kita berdiri diranah Minang, dapat dipastikan kita akan mendengar kumandang Adzan, panggilan untuk beribadah lima waktu. Kearah manapun kita menengok, hampir dipastikan kita akan melihat kubah sebuah Mesjid, minimal sebuah Surau dengan arsitektur Minang yang khas.

Arsitektur Minang memiliki gaya yang khas dan unik, khususnya “Rumah Gadang”. Salah satu yang konon tertua, berdiri sejak lebih dari 400 tahun yang lalu, dapat dijumpai diselatan Batu Sangkar.

Kekhasan arsitektur Minang ini tertutama pada bentuk atapnya. Ada yang menganggap bentuk itu seperti “pelana kuda”, tetapi sebahagian besar cenderung mengatakan bentuknya seperti “tanduk kerbau”, sebagaimana yang tersirat dalam kata Minangkabau. Salah satu bentuk khas arsitektur Minang yang sangat cantik dan megah, adalah Istana Sultan Pagaruyung (S0.471900 - E100.620333).








[navigasi.net] Budaya - Minangkabau


Bukit Tinggi (S0.307450 - E0.000000), terkenal dengan “Jam Gadang”, yang berdiri megah ditengah-tengah kota. Kalau kita perhatikan, angka Romawi 4 pada jam tersebut, bukannya dituliskan sebagai IV, tetapi dituliskan “alla Minang” yaitu IIII ……. Konon orang Minang terkenal “keras kepala” …….. sebab kalau kepala kita tidak keras, itu kan bukan kepala namanya …..?

Kota yang cantik ini seolah-olah bertengger dibukit menghadap “Ngarai Sianok” atau Grand Canyon-nya Minangkabau

Di-Bukittinggi dapat dijumpai Benteng De Cock (Fort De Cock – S0.300500 - E100.367583), konon sebagai menara penjaga yang dikelilingi oleh canon-canon menghadap kesegala penjuru, yang didirikan beberapa ratus tahun yang lalu oleh colonialist Belanda pada masa penjajahan.

Salah satu kota yang unik diranah Minang adalah: Kuto Gadang (S0.333383 - E100.353833). Meskipun menyandang nama “gadang” yang berarti “besar”, kota itu sendiri adalah sebuah kota kecil, yang berada dilembah Sianok, tetapi kota kecil ini mempunyai hikayat yang besar. Dari kota kecil ini menghasilkan banyak cendekiawan-cendikiawan Minang “nan Gadang” atau nama-nama yang besar, seperti almarhum Haji Agus Salim, almarhum Muhammad Natsir dan nama-nama besar lainnya.








[navigasi.net] Budaya - Minangkabau


Tragisnya, kota Gadang ini seperti sebuah kota yang “kosong”, banyak rumah-rumah tua yang penuh dengan hikayat ini dibiarkan kosong, ada yang dipugar banyak pula yang dibiarkan tidak terawat dengan baik, karena para penghuninya umumnya adalah orang Minang yang berhasil dirantau.

Masalah makanan, bagi tourist lokal tidak menjadi masalah, karena sudah terbiasa dengan restaurant Padang yang tersebar diseantero Nusantara, bahkan dipulau Jawa, Warung Padang jauh lebih banyak dari “Warteg”... Namun bagi yang tidak mempermasalahkan “kolasterol”, ada sebuah restaurant yang sangat terkenal yang hanya menjual “Sate Padang” dengan sausnya yang khas: Restaurant Mak Syukur namanya, yang berada dikota Padang Panjang (S0.462933 - E100.399967). Konon dalam kunjungan Perdana Menteri Abdullah Badawi, ketanah leluhurnya diranah-Minang, SBY mengajak beliau singgah kerestaurant tersebut untuk bernostalgia: Kampuang nan jauh dimato ….

Yang juga cukup menarik untuk dicatat ialah warna atau simbol Minangkabau yang terdiri dari 3 warna yang mirip dengan bendera German. Kita bisa saksikan umbul-umbul dengan ketiga warna ini dimana-mana. Mulanya saya pikir ada kesebelasan German yang bertandang ke-Ranah Minang ...

Pada seorang turis German yang saya jumpai disebuah gubuk panorama yang banyak terdapat disepanjang jalan antara Padang – Bukittinggi saya katakan bahwa kelihatannya masyarakat Minang ini sedang menyambut kalian, lihat saja itu bendera atau atribut German dimana-mana. Dengan logat German yang kental, dia menjawab: “Ya ya, that make me feel a bit at home here, fantastic land with charming people ..”



navigasi.net 2003 - 2010